Daily Reminder

Belajar Menerima Kekalahan

Belajar menerima kekalahan itu sulit. Sungguh deh. Saya sudah mencobanya. Sejak dulu masih kecil, hingga sekarang sudah jadi ibu dengan dua anak. Tapi walaupun begitu, anehnya saya tak pernah kapok-kapok mencobanya. Berlomba lagi, kalah lagi, hingga lalu sesekali pun menang.

Latihan untuk bisa berdamai dengan kekalahan membutuhkan waktu. Apalagi mengajarkannya pada anak-anak.

Kebetulan kemarin anak-anak sempat menghadiri sebuah kejuaraan bela diri besar. Setelah melalui beberapa minggu persiapan, hari yang dinanti-nanti pun datang. Hadir di kejuaraan nasional Kapolri Cup ke-4 di Gelanggang Olah Raga (GOR) Cibubur.

Jangankan anak-anak yang merasa sangat excited alias senang, ibunya pun ikut semangat rasanya bisa ada di sana. Melihat orang banyak dari berbagai klub dan daerah ternyata sangat membuka wawasan. Hati pun ikut deg-degan. Penasaran apakah anak-anak sudah cukup sepadan ketika berhadapan dengan anak-anak seumurnya di sisi lawan.

Melatih anak menerima kekalahan dengan sportif
Melatih anak menerima kekalahan dengan sportif (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Semangat tapi Cemas

Setibanya di sana, para senior dari klub tempat anak-anak berlatih pun mulai membantu mereka mengenakan peralatan tandingnya. Dobok (seragam taekwondo yang berwarna putih) dan sabuk sudah ada di badan mereka sejak berangkat. Body protector, hand protector, dan shin guard (pelindung tulang kering di kaki) mulai dilekatkan ke badan si bungsu.

Terlihat ekspresi cemas dan ragu-ragu terpancar di wajah mereka. Sabeum atau pelatih Taekwondonya pun mulai meminta para senior untuk mengajak anak-anak untuk pemanasan sambil berlatih. Beberapa saat kemudian, anak-anak pun mulai terlihat tenang dan beradaptasi dengan situasi.

Waktunya Bertanding

Tak berapa lama, terdengar nama anak bungsu pun dipanggil panitia. Seorang senior mendampinginya untuk masuk ke dalam arena. Saya dan suami pun tak mau ketinggalan. Kami segera berburu tempat untuk menyaksikan pertandingan si kecil.

Suasana di dalam arena GOR begitu penuh dan padat dengan para orangtua yang saya rasa sama cemasnya dengan saya. Saya dan suami bahkan sempat kesulitan menemukan tempat untuk sekadar berdiri. Tak lama setelah mendapatkan tempat, tiba-tiba terlihat anak bungsu sudah di dalam arena. Pertandingan sudah dimulai.

Bakk! bukk! bak! bukk! Kurang lebih begitulah irama ayunan kaki si kecil berusaha diarahkannya ke badan lawan tandingnya. Ia terus berusaha semaksimal mungkin. Hingga tiba-tiba wasit menghentikan pertandingan dan mengangkat tangannya menunjuk ke arah lawan. ternyata anak bungsu kalah poin tipis dari lawan tandingnya.

Pertandingan si Sulung

Selang 1 jam, waktunya si sulung memasuki arena GOR. Kali ini saya sayangnya berada di posisi yang salah. Anak sulung ternyata ditempatkan di arena yang cukup jauh dari tempat saya berdiri. Saya pun sudah tak sempat mengejarnya. Maka dengan semangat ala emak-emak, saya angkat ponsel saya tinggi-tinggi dan memasang zoom semaksimal mungkin untuk merekamnya.

Ternyata, hasil pertandingan si sulung pun tak jauh berbeda dari anak bungsu. Ia harus mengalami kekalahan dengan skor yang cukup jomplang.

Ekspresi Mereka

Segera saya bergegas pergi ke luar GOR untuk menemui anak-anak. Saya sudah membayangkan ekspresi sedih di wajah-wajah kecil itu. Perasaan kecewa saja muncul di hati saya, tentu mereka pun mengalami hal yang sama. Begitu dalam pikiran saya. Yup, memang begitulah risiko mengikuti pertandingan, ada menang ada kalah.

Saya pun coba menunjukkan ekspresi wajah ter-sumingrah saya sambil menanyakan bagaimana pertandingan mereka tadi. Tanggapan si bungsu ketika bertemu dengan saya ternyata sungguh jauh dari bayangan. Ia dengan positifnya, berkata “Gapapa Bun, kan Adek masih juara 2.” Membuat saya tertegun dan membenarkannya dalam hati.

Namun berbeda dengan anak sulung. Ia ternyata cukup terpukul dengan kekalahannya. Saya dan suami pun berusaha membesarkan hatinya. Tapi menerima kekalahan selalu sulit, bukan?

Bahkan atlit bertaraf internasional pun akan mengalami hal yang sama. Setelah melewati masa latihan yang begitu berat dan konsistem berjam-jam setiap harinya. Berjuang sekuat tenaga. Ternyata ada saatnya nasib ditentukan di sebuah pertandingan yang hanya berlangsung beberapa menit saja.

Membesarkan Hati

Membesarkan hati yang sedang jatuh dan kalah memang sulit. Sepanjang jalan menuju parkir mobil, saya dan suami terus berdialog dengan si sulung. Menanyakan perasaannya, menjelaskan bahwa hal seperti ini wajar terjadi pada siapa pun, hingga mengajaknya evaluasi kecil-kecilan. Namun memang semuanya berproses dan memerlukan waktu yang tak sebentar.

Menerima Kekalahan dengan Lapang Dada

Beberapa hal di bawah biasanya saya coba lakukan ketika baru saja kalah, minder, atau bahkan merasa terpuruk.

1. Mengakui bahwa kita memang kalah dan stop berandai-andai.

Menerima bahwa kita kalah saja sudah cukup sulit. Lebih berat lagi jika kita bisa berbesar hati bahkan mengapresiasi pemenang atau lawan tanding kita. Namun bagaimanapun kita perlu berlatih untuk melakukannya. Karena dalam hidup, perasaan kalah, jatuh, tertinggal itu sangat mungkin terjadi. Tarik nafas dan terima keadaannya. Yakin bahwa memang inilah yang terbaik bagi kita saat ini.

Berhentilah berandai-andai bahwa suatu hal bisa dilakukan berbeda atau jika kita bisa memutar kembali waktu. Terlalu banyak kata “jika” atau “andai” justru akan membuat kita larut dalam kesedihan.

Setelahnya, segera fokus pada apa saja kelebihan lawan yang bisa kita tiru. Contohnya: “Oh, ternyata dia bergerak lebih cepat dari saya ya”, “Hmm.. sepertinya dia banyak melatih ketangkasan dan kelincahannya.”

2. Alihkan pikiran sejenak dengan hal lain yang bisa menghibur dan membuat diri bersyukur.

Pada kejadian anak-anak tadi, saya lalu mengizinkan mereka untuk bermain gadget sejenak dan memilih makanan favoritnya untuk dipesan. Namun tetap dengan batasan ya. Karena mengalihkan perhatian atau refreshing tanpa pakem yang jelas justru akan membawa masalah lain yang lebih pelik. hehehe

3. Evaluasi dan cari tahu apa yang bisa segera diperbaiki atau ditingkatkan.

Mencari tahu apa saja kekurangan yang bisa diperbaiki adalah cara lain untuk memacu semangat baru. Jika kita sudah paham poin-poin yang perlu ditingkatkan, maka hal tersebut akan membuat fokus baru kita lebih positif dan percaya diri.

Pada anak-anak, melakukan hal ini memang tak mudah. Namun mengingatkan mereka bahwa dengan latihan lebih rajin, semangat lebih kuat, mereka pun akan segera menemukan fokus barunya. Menang dan kalah adalah hal wajar. Ketika kalah, maka saatnya berlatih lebih giat.

Mengikuti Kejuaraan Nasional
Mengikuti Kejuaraan Nasional (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Akhirnya menjelang sore, suasana hati anak sulung pun mulai kembali normal. Ia sudah mau bercerita dan berdiskusi banyak dengan kami. Lega rasanya hati ini.

Life Goes On

Pada akhirnya, yang paling penting ditanamkan pada anak adalah konsep bahwa menang-kalah bukanlah akhir dari segalanya. Bumi tak akan berhenti berputar hanya karena kita kalah dalam satu hal. Pun bumi tak akan bergerak lebih cepat hanya karena kita menang.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu, dan Dia tidak akan meminta hartamu.”

(QS. Muhammad: 36)

Baik buruknya manusia tidaklah ditentukan dari kemenangan, kesuksesan, dan kelebihan atas manusia lain. Namun penentunya adalah kadar ketakwaan dalam diri juga amal kebaikan yang kita perbuat. Jadi, yuk, terus belajar untuk tidak terlalu khawatir.

32 thoughts on “Belajar Menerima Kekalahan

  1. Keren banget buat anak-anaknya mba telah berani mengikuti kompetisi. Yang perlu diketahui bahwa adek2 telah menang melawan rasa takut hingga mampu mengikuti perlombaan.

    Salut dengan cara menyikapi dan didikan mba kepada anak-anak yaitu mengajarkan menerima kekalahan dengan lapang dada, realistis dan semangat berlatih lagi meningkatkan skill.

    Semoga di perlombaan bela diri berikutnya bisa berkesempatan menang ya, dek! Semangat.

    1. Mengajarkan supaya legowo ketika kalah itu memang menantang ya Mbak. Apalagi ke anak-anak.. Kita aja yang sudah dewasa kadang galaunya berkepanjangan untuk urusan seperti ini.. hehehe.

  2. Kalah menang yang penting prosesnya ya. Itu yang bisa membimbing pribadi menjadi lebih baik, lebih toleran dan lebih mengutamakan penguatan karakter. Semangat ya kalah menang tetap berjuang belajar sehingga prestasi akan dengan sendirinya nanti datang

    1. Betul Teh, mengajarkan anak-anak menikmati proses itu lumayan ya ternyata. Perlu latihan dan terus latihan. Menang kalah bukan tujuan, tapi keduanya juga yang bisa menimbulkan motivasi.

  3. Salut Mbak cara mengajatkan anak menerima kekalahan
    Konsep kalah menang memang mesti diajarkan sejak dini. Saya ada teman, sudah ibuk-ibuk..kalau kalah lomba nulis kekecewaannya panjang kali lebar ditulis di status sosmed. Enggak bisa legowo kalau kalah..
    Padahal kalau kita kalah artinya ada yang lebih dari kita, atau memang kita (karya kita) bukan dalam kondisi yang terbaik.

    1. Wah, ada ya Mbak ternyata.. Jadi curcol panjang lebar di medsos ya.. Duh, mudah-mudahan beliau cepat ketemu caranya ya untuk legowo. Memang perlu latihan sih ya.

  4. Terkadang bagi anak anak, menerima kekalahan itu sulit
    Tapi memang perlu diajarkan sedikit demi sedikit ya mbak
    Agar anak bisa bijak saat menghadapi kekalahan

  5. Kakak dan adik sama-sama hebatnya. Setidaknya sudah mau mencoba ya, Nak… itu sudah poin plus, lo.

    Belajar dari artikel Mbak tentang arti kekalahan. Bener sih Mbak kalah menang bukan hal utama, yang paling utama adalah tetap mau belajar terus dan terus mengasah kemampuan

  6. Jadi ingat dah.iktiar maksimal ikut lomba tetap aja kalah. Padahal itu semua adalah takdir Allah yang menyuruh kita bijan berproses. Banyak manfaat dari kegagalan yang dilakukan.

  7. Nyesek banget emang kalau ada di posisi kalah gitu tp di sisi lain itu bikin kita nyadar kalau masih ad yg lebih dari kita, its okay, but kita jg harus lebih mengasah kemampuan jg

  8. Keren nih mba anaknya udah berani bertanding. Bagiku itu udah pemenang sih. Apalagi menanamkan mental menerima kekalahan dengan lapang dada. Wah, salut nih, bisa buat referensi juga kalau anakku begitu

    1. MasyaAllah Tabarakallah. Betul Mbak, pada akhirnya saya merasa bahwa mereka sudah berani tampil tanding di keramaian begini sudah jadi sebuah nilai tambah. Mereka pun mendapat pengetahuan dan motivasi baru.

  9. Sering kali anak tidak mau mengalah itu karena ia punya keinginan yang kuat. Satu sisi perlu dipertahankan. . tapi pelan-pelan juga perlu dipahamkan ya

    1. Betul Mbak, berat ya menerima kekalahan.. tapi semakin banyak belajar, mudah-mudahan, jika suatu saat berada di posisi kalah, hati pun lebih cepat pulih dan bangun lagi.

  10. wah saya masih belum tahu nih anak saya gimana nanti dalam menghadapi kekalahan. cuma kalau dilihat anak sulung itu lumayan kompetitif sih beda kayak saya yang plegmatis parah jadinya suka malas bersaing sama orang. hihi

    1. Wah, mirip Mbak, anak sulung saya juga sebenarnya kadang tipe-tipe yang malas ikut lomba atau kompetisi. Tapi sebenarnya kalau pada suatu saat dia menang lomba, dia juga bahagia sih hehehe.

  11. MasyaAllah luar biasa sekali mba artikelnya…memang belajar menerima kekalahan itu tidak mudah. Saya sendiri ngerasain, betapa diri masih sering membanding-bandingkan dengan prestasi dan apa yg di dapat oleh orang lain, padahal benar kita sebagai manusia hanya perlu untuk tidak terlalu khawatir.

    1. Betul Mbak. Sebenarnya semua orang pasti ada keunggulannya di bidang masing-masing. Jadi tinggal terus mengeksplorasi apa yang mau kita tekuni ke depannya. Dan yang gak kalah penting memang memupuk semangat untuk bangkit lagi ya. Maju teruusss hehehe.

    1. Betul Mbak. Mudah-mudahan nanti kalau sudah dewasa mereka bisa menghadapi aneka tantangan dengan lebih santai dan positif. Mau kalah atau menang, yang penting terus berjuang ya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *